Wajah
pria asal Makassar ini mulai dikenal setelah membintangi film layar lebar
Ketika Cinta Bertasbih (2009). Sejak itu, karier Andi Arsyil (25) seolah tak
terbendung. Selain berkiprah di dunia akting, ia juga populer sebagai motivator
sekaligus penulis sejumlah buku motivasi yang laris di pasaran. Simak kisah
hidupnya mulai nomor ini.
Bagi
saya, tubuh adalah sebuah media. Dan yang menentukan seluruh kehidupan ini akan
dibawa ke arah mana adalah semangat dalam setiap jiwa manusia. Semangat hidup
saya sangat besar. Sebesar keinginan saya untuk menjadi yang terbaik semampu
saya bisa.
Saya
juga selalu bilang kepada diri sendiri agar kuat menderita dan tak pernah
merasa lemah. Apapun tantangan yang ada di depan, saya pasti mampu
menghadapinya. Lagi pula, Allah menciptakan manusia dengan kesempurnaan. Maka
saya memompa diri agar melebihi persepsi mental saya. Meskipun kadang sehari
saya tak tidur, nyatanya saya jarang sakit. Inilah kekuatan sebuah semangat.
Oh
ya, nama lengkap saya Andi Arsyil Rahman Putra. Saya lahir di Makassar, 15
September 1987. Sebagian orang mengenal saya melalui layar kaca dan layar lebar
karena pekerjaan saya sehari-hari memang berakting. Sebagian yang lain mungkin
mengenal saya sebagai motivator dan penulis buku-buku motivasi.
Ada
yang bertemu saya di ruang kelas kala saya menjadi siswa atau pengajar,
sementara beberapa orang lain mungkin mendudukkan saya sebagai rekan bisnis dan
pengusaha. Semua label itu benar karena saya memang menjalani seluruh pekerjaan
tadi. Semuanya saya sukai dan lakukan dengan hati lapang.
Dikeroyok preman
Nyaris
separuh hidup saya dihabiskan di Makassar. Sejak TK hingga kuliah, saya tinggal
di ibu kota provinsi Sulawesi Selatan ini. Semasa kecil, teman-teman
sepermainan memanggil saya Aril. Suasana rumah selalu ramai karena kami adalah
keluarga besar. Saudara saya ada tujuh orang, empat laki-laki dan tiga
perempuan. Saya anak kelima, sekaligus yang paling bandel dan sering berkelahi.
Bukan
berarti saya punya banyak musuh, lho. Justru teman-teman saya banyak sekali.
Sejak kecil memang sifat saya lebih dominan. Misalnya, saat bermain saya
senangnya jadi pemimpin. Dan tiap ada teman yang punya musuh atau berantem,
sayalah yang maju membela mereka. Jadi, semasa SD dan SMP, saya tergolong suka
adu jotos sebab rasa solidaritas saya kepada teman memang sangat tinggi.
Beberapa
kali saya juga pernah dikeroyok preman pasar yang umurnya lebih tua. Pasalnya,
saya tak mau memberi uang saat dipalak . Kalau kebanyakan teman-teman
pasrah, saya tak sudi. Lebih baik melawan, walau pulang dengan wajah penuh luka
cakaran. Untungnya meski sering berkelahi, saya tak pernah mengalami luka
serius.
Tapi
sekali waktu saat di SMP, saya pernah memukul seorang teman sampai dia masuk
rumah sakit. Saat itu, tangan saya juga sobek terkena giginya. Bekasnya masih
ada hingga sekarang. Kami berkelahi gara-gara dia merusak mainan layang-layang
buatan saya. Lain waktu, saya bermain kejar-kejaran dengan kakak di depan masjid.
Oleh karena saat itu keadaan masih gelap, kakak terpeleset dan terjerembab ke
selokan. Lukanya lumayan parah sampai harus dijahit.
Bapak
dan Ibu bukannya tak pernah memarahi saya. Namun mereka memang tak pernah
menghukum secara fisik. Jika saya nakal, paling hanya dinasehati dan ditegur.
Setelah itu disayang-sayang lagi, ha ha ha...
Untungnya,
kenakalan saya berakhir setelah saya masuk SMU. Logika saya sudah mulai jalan,
tak ada gunanya berkelahi dan bersikap sok jagoan. Saya lalu menyibukkan diri
dengan ikut berbagai organisasi di sekolah. Lantaran sejak SD saya juga selalu
juara kelas, ketika SMU saya makin tenggelam dalam dunia pelajaran.
Kental
Aktivitas Agama
Bapak
saya, Prof. Dr. Ir. H. Andi Rahman Mappangaja M.S, adalah seorang guru besar di
sebuah perguruan tinggi di Makassar. Sementara Ibu, Ir. Yusnidar Yusuf, adalah
seorang ibu rumah tangga. Mereka berdua adalah inspirasi hidup saya. Orangtua
saya mendidik anak-anaknya dengan pondasi agama yang kuat. Setiap hari, sejak
membuka mata hingga kembali ke peraduan, kegiatan keluarga kami kental dengan
aktivitas keagamaan.
Pagi
hari, kami salat subuh bersama di masjid. Selepas salat, saat keluarga pulang
ke rumah, saya mengaji di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Pulang ke rumah,
saya lalu siap-siap sekolah. Biasanya, Ibu sudah menyiapkan jus sayuran seperti
wortel, tomat, kedelai, atau tauge untuk kami minum. Ada pula telur setengah
matang yang harus kami makan hingga tandas. Mulanya memang terasa enek dan tak
enak, tapi lama-lama, ya, terbiasa juga. Ha ha ha...
Pulang
sekolah, saya berangkat mengaji lagi bersama teman-teman. Setelah itu, barulah
saya bebas bermain menjelajahi kampung. Saya baru pulang ketika azan magrib
berkumandang. Saya lalu salat berjamaah bersama keluarga. Malam menjelang
tidur, Bapak biasanya mengajak kami berkumpul. Beliau lalu mendongengi kami
berbagai cerita. Dongeng favorit saya adalah cerita Abu Nawas .
Bagi
saya, Bapak adalah pribadi yang bijaksana dan bersahaja. Beliau tak suka marah.
Jika ada anak-anaknya yang berbuat kesalahan, Bapak lebih suka mengarahkan
ketimbang memarahi. Misalnya, saat saya mulai mengenal cinta monyet di kelas 6
SD, beliau hanya berkata, “Tak apa-apa suka pada lawan jenis, tapi sekarang
fokus belajar dulu, ya.” Intinya, tak mematahkan semangat saya.
Beranjak
dewasa, Bapak adalah orang yang paling asyik diajak berdiskusi. Wawasan beliau
sangat luas. Jika saya curhat soal suatu masalah, beliau selalu memberi
solusi sesuai ajaran agama kami. Pesan Bapak yang selalu saya ingat,
"Jadilah orang yang pandai bersabar dan bersyukur agar selamat di dunia
dan akhirat." Bapak juga tak lupa menanamkan pentingnya proses dalam
setiap tujuan hidup saya. Ibaratnya, jika mau memetik kacang, ya, harus mau
menanam dan menyiraminya hingga bertunas. Jangan mengharapkan hasil instan.
Sementara itu, Ibu adalah pasangan yang kompak bagi Bapak. Mereka juga
romantis. Sehabis salat Subuh bersama, Bapak selalu mengantar Ibu ke pasar
untuk belanja bahan makanan yang akan dimasak di rumah. Ibu juga seorang yang
disiplin namun penuh kasih ke seluruh anak-anaknya.
Kuliah
3 Tempat
Kepada
anak-anaknya, Bapak selalu bilang, “Jika kamu mau menjadi orang yang
ditinggikan, jadilah orang yang berilmu.” Maka, seluruh anak-anaknya kemudian
berlomba-lomba menempuh pendidikan. Dalam keluarga kami, kuliah di beberapa
tempat sekaligus bukan hal aneh. Sebagai adik, saya pun mencontoh kakak-kakak
saya.
Saya
juga kuliah di tiga tempat. Yang pertama di Jurusan Fisika (Geofisika),
Universitas Hasanuddin. Saya diterima tanpa tes masuk lantaran nilai ujian mata
pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) saya rata-rata 10. Yang kedua, saya
mengambil Jurusan Teknik Informatika (TI), STMIK Dipanegara, sementara yang
ketiga di Jurusan Ekonomi Manajemen, Universitas Muhammadiyah.
Dua
dari tiga mata kuliah itu sudah berhasil saya selesaikan. Hanya yang jurusan
fisika yang masih mandek dan rencananya akan segera saya selesaikan. Sayang,
tinggal satu semester lagi dan menyusun skripsi saja. Oh ya, saat ini saya juga
tengah mengambil gelar S2 di Jurusan Manajemen, Universitas Negeri Jakarta
(UNJ).
Pilihan
jurusan saya memang berbeda-beda. Tapi semua saya suka. Fisika, misalnya,
adalah bidang ilmu yang sangat saya sukai. Semua pelajaran yang melibatkan
kegiatan menghitung, pasti saya suka. Saya bahkan pernah bercita-cita menjadi
dosen fisika, lho. Jurusan TI saya ambil karena saya tak mau gaptek .
Saya ingin melek teknologi secara mendalam, bukan sekadar jadi pengguna saja.
Sementara jurusan ekonomi saya ambil lantaran saya memang ingin jadi pengusaha.
Saya harus tahu teorinya, baru melangkah menjadi praktisi.
Oleh
karena semua terasa penting, jadilah saya ambil ketiganya. Sekarang ini,
mencari pekerjaan sangat susah. Jika saya tampil apa adanya dan hidup hanya
rata-rata, rasanya sulit untuk mencapai cita-cita. Saya percaya, jika saya
berusaha lebih keras pasti hasil yang saya petik juga akan lebih besar.
Kuliah
di tiga tempat tentu bukan hal mudah. Saya harus pandai-pandai membagi waktu.
Apalagi, setelah lulus dari Muhammadiyah, saya sempat didapuk jadi dosen di
sana. Saya juga sempat diterima bekerja di salah satu perusahaan komunikasi di
Makassar. Semua saya jalani dengan penuh semangat.
Namun
berbarengan dengan itu, masalah keuangan juga sempat mencuat di keluarga kami.
Dengan anak-anak yang rata-rata mengambil dua hingga tiga jurusan, Bapak dan
Ibu juga mesti pandai-pandai mengatur keuangan keluarga. Ada suatu masa ketika
Bapak mencoba berbisnis namun malah kena tipu. Tapi alhamdulillah, setiap jatuh
tempo pembayaran utang, ada saja uangnya.
Toh,
meski begitu cibiran tetap saja ada. Banyak yang bilang, sekolah tak menentukan
kesuksesan. Buat saya, sekolah bukan alat untuk mencari uang, tapi tempat
mengembangkan pola pikir dan bersosialisasi. Semua hasil dari saya menuntut
ilmu, sudah saya rasakan manfaatnya, kok.
No comments:
Post a Comment