Tuesday, November 12, 2013

Andi Arsyil Si Kutu Buku

 
Wajah pria asal Makassar ini mulai dikenal setelah membintangi film layar lebar Ketika Cinta Bertasbih (2009). Sejak itu, karier Andi Arsyil (25) seolah tak terbendung. Selain berkiprah di dunia akting, ia juga populer sebagai motivator sekaligus penulis sejumlah buku motivasi yang laris di pasaran. Simak kisah hidupnya mulai nomor ini.
Bagi saya, tubuh adalah sebuah media. Dan yang menentukan seluruh kehidupan ini akan dibawa ke arah mana adalah semangat dalam setiap jiwa manusia. Semangat hidup saya sangat besar. Sebesar keinginan saya untuk menjadi yang terbaik semampu saya bisa.
Saya juga selalu bilang kepada diri sendiri agar kuat menderita dan tak pernah merasa lemah. Apapun tantangan yang ada di depan, saya pasti mampu menghadapinya. Lagi pula, Allah menciptakan manusia dengan kesempurnaan. Maka saya memompa diri agar melebihi persepsi mental saya. Meskipun kadang sehari saya tak tidur, nyatanya saya jarang sakit. Inilah kekuatan sebuah semangat.
Oh ya, nama lengkap saya Andi Arsyil Rahman Putra. Saya lahir di Makassar, 15 September 1987. Sebagian orang mengenal saya melalui layar kaca dan layar lebar karena pekerjaan saya sehari-hari memang berakting. Sebagian yang lain mungkin mengenal saya sebagai motivator dan penulis buku-buku motivasi.
Ada yang bertemu saya di ruang kelas kala saya menjadi siswa atau pengajar, sementara beberapa orang lain mungkin mendudukkan saya sebagai rekan bisnis dan pengusaha. Semua label itu benar karena saya memang menjalani seluruh pekerjaan tadi. Semuanya saya sukai dan lakukan dengan hati lapang.
Dikeroyok preman
Nyaris separuh hidup saya dihabiskan di Makassar. Sejak TK hingga kuliah, saya tinggal di ibu kota provinsi Sulawesi Selatan ini. Semasa kecil, teman-teman sepermainan memanggil saya Aril. Suasana rumah selalu ramai karena kami adalah keluarga besar. Saudara saya ada tujuh orang, empat laki-laki dan tiga perempuan. Saya anak kelima, sekaligus yang paling bandel dan sering berkelahi.
Bukan berarti saya punya banyak musuh, lho. Justru teman-teman saya banyak sekali. Sejak kecil memang sifat saya lebih dominan. Misalnya, saat bermain saya senangnya jadi pemimpin. Dan tiap ada teman yang punya musuh atau berantem, sayalah yang maju membela mereka. Jadi, semasa SD dan SMP, saya tergolong suka adu jotos sebab rasa solidaritas saya kepada teman memang sangat tinggi.
Beberapa kali saya juga pernah dikeroyok preman pasar yang umurnya lebih tua. Pasalnya, saya tak mau memberi uang saat dipalak . Kalau kebanyakan teman-teman pasrah, saya tak sudi. Lebih baik melawan, walau pulang dengan wajah penuh luka cakaran. Untungnya meski sering berkelahi, saya tak pernah mengalami luka serius.
Tapi sekali waktu saat di SMP, saya pernah memukul seorang teman sampai dia masuk rumah sakit. Saat itu, tangan saya juga sobek terkena giginya. Bekasnya masih ada hingga sekarang. Kami berkelahi gara-gara dia merusak mainan layang-layang buatan saya. Lain waktu, saya bermain kejar-kejaran dengan kakak di depan masjid. Oleh karena saat itu keadaan masih gelap, kakak terpeleset dan terjerembab ke selokan. Lukanya lumayan parah sampai harus dijahit.
Bapak dan Ibu bukannya tak pernah memarahi saya. Namun mereka memang tak pernah menghukum secara fisik. Jika saya nakal, paling hanya dinasehati dan ditegur. Setelah itu disayang-sayang lagi, ha ha ha...
Untungnya, kenakalan saya berakhir setelah saya masuk SMU. Logika saya sudah mulai jalan, tak ada gunanya berkelahi dan bersikap sok jagoan. Saya lalu menyibukkan diri dengan ikut berbagai organisasi di sekolah. Lantaran sejak SD saya juga selalu juara kelas, ketika SMU saya makin tenggelam dalam dunia pelajaran.
Kental Aktivitas Agama
Bapak saya, Prof. Dr. Ir. H. Andi Rahman Mappangaja M.S, adalah seorang guru besar di sebuah perguruan tinggi di Makassar. Sementara Ibu, Ir. Yusnidar Yusuf, adalah seorang ibu rumah tangga. Mereka berdua adalah inspirasi hidup saya. Orangtua saya mendidik anak-anaknya dengan pondasi agama yang kuat. Setiap hari, sejak membuka mata hingga kembali ke peraduan, kegiatan keluarga kami kental dengan aktivitas keagamaan.
Pagi hari, kami salat subuh bersama di masjid. Selepas salat, saat keluarga pulang ke rumah, saya mengaji di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Pulang ke rumah, saya lalu siap-siap sekolah. Biasanya, Ibu sudah menyiapkan jus sayuran seperti wortel, tomat, kedelai, atau tauge untuk kami minum. Ada pula telur setengah matang yang harus kami makan hingga tandas. Mulanya memang terasa enek dan tak enak, tapi lama-lama, ya, terbiasa juga. Ha ha ha...
Pulang sekolah, saya berangkat mengaji lagi bersama teman-teman. Setelah itu, barulah saya bebas bermain menjelajahi kampung. Saya baru pulang ketika azan magrib berkumandang. Saya lalu salat berjamaah bersama keluarga. Malam menjelang tidur, Bapak biasanya mengajak kami berkumpul. Beliau lalu mendongengi kami berbagai cerita. Dongeng favorit saya adalah cerita Abu Nawas .
Bagi saya, Bapak adalah pribadi yang bijaksana dan bersahaja. Beliau tak suka marah. Jika ada anak-anaknya yang berbuat kesalahan, Bapak lebih suka mengarahkan ketimbang memarahi. Misalnya, saat saya mulai mengenal cinta monyet di kelas 6 SD, beliau hanya berkata, “Tak apa-apa suka pada lawan jenis, tapi sekarang fokus belajar dulu, ya.” Intinya, tak mematahkan semangat saya.
Beranjak dewasa, Bapak adalah orang yang paling asyik diajak berdiskusi. Wawasan beliau sangat luas. Jika saya curhat soal suatu masalah, beliau selalu memberi solusi sesuai ajaran agama kami. Pesan Bapak yang selalu saya ingat, "Jadilah orang yang pandai bersabar dan bersyukur agar selamat di dunia dan akhirat." Bapak juga tak lupa menanamkan pentingnya proses dalam setiap tujuan hidup saya. Ibaratnya, jika mau memetik kacang, ya, harus mau menanam dan menyiraminya hingga bertunas. Jangan mengharapkan hasil instan. Sementara itu, Ibu adalah pasangan yang kompak bagi Bapak. Mereka juga romantis. Sehabis salat Subuh bersama, Bapak selalu mengantar Ibu ke pasar untuk belanja bahan makanan yang akan dimasak di rumah. Ibu juga seorang yang disiplin namun penuh kasih ke seluruh anak-anaknya.
Kuliah 3 Tempat
Kepada anak-anaknya, Bapak selalu bilang, “Jika kamu mau menjadi orang yang ditinggikan, jadilah orang yang berilmu.” Maka, seluruh anak-anaknya kemudian berlomba-lomba menempuh pendidikan. Dalam keluarga kami, kuliah di beberapa tempat sekaligus bukan hal aneh. Sebagai adik, saya pun mencontoh kakak-kakak saya.
Saya juga kuliah di tiga tempat. Yang pertama di Jurusan Fisika (Geofisika), Universitas Hasanuddin. Saya diterima tanpa tes masuk lantaran nilai ujian mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) saya rata-rata 10. Yang kedua, saya mengambil Jurusan Teknik Informatika (TI), STMIK Dipanegara, sementara yang ketiga di Jurusan Ekonomi Manajemen, Universitas Muhammadiyah.
Dua dari tiga mata kuliah itu sudah berhasil saya selesaikan. Hanya yang jurusan fisika yang masih mandek dan rencananya akan segera saya selesaikan. Sayang, tinggal satu semester lagi dan menyusun skripsi saja. Oh ya, saat ini saya juga tengah mengambil gelar S2 di Jurusan Manajemen, Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Pilihan jurusan saya memang berbeda-beda. Tapi semua saya suka. Fisika, misalnya, adalah bidang ilmu yang sangat saya sukai. Semua pelajaran yang melibatkan kegiatan menghitung, pasti saya suka. Saya bahkan pernah bercita-cita menjadi dosen fisika, lho. Jurusan TI saya ambil karena saya tak mau gaptek . Saya ingin melek teknologi secara mendalam, bukan sekadar jadi pengguna saja. Sementara jurusan ekonomi saya ambil lantaran saya memang ingin jadi pengusaha. Saya harus tahu teorinya, baru melangkah menjadi praktisi.
Oleh karena semua terasa penting, jadilah saya ambil ketiganya. Sekarang ini, mencari pekerjaan sangat susah. Jika saya tampil apa adanya dan hidup hanya rata-rata, rasanya sulit untuk mencapai cita-cita. Saya percaya, jika saya berusaha lebih keras pasti hasil yang saya petik juga akan lebih besar.
Kuliah di tiga tempat tentu bukan hal mudah. Saya harus pandai-pandai membagi waktu. Apalagi, setelah lulus dari Muhammadiyah, saya sempat didapuk jadi dosen di sana. Saya juga sempat diterima bekerja di salah satu perusahaan komunikasi di Makassar. Semua saya jalani dengan penuh semangat.
Namun berbarengan dengan itu, masalah keuangan juga sempat mencuat di keluarga kami. Dengan anak-anak yang rata-rata mengambil dua hingga tiga jurusan, Bapak dan Ibu juga mesti pandai-pandai mengatur keuangan keluarga. Ada suatu masa ketika Bapak mencoba berbisnis namun malah kena tipu. Tapi alhamdulillah, setiap jatuh tempo pembayaran utang, ada saja uangnya.
Toh, meski begitu cibiran tetap saja ada. Banyak yang bilang, sekolah tak menentukan kesuksesan. Buat saya, sekolah bukan alat untuk mencari uang, tapi tempat mengembangkan pola pikir dan bersosialisasi. Semua hasil dari saya menuntut ilmu, sudah saya rasakan manfaatnya, kok.

No comments:

Post a Comment